Hikayat abu nawas –
Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.
si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”
abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”
si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :
“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”
si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.
abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”
si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”
abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”
silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.
abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”
si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”
abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”
si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”
abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”
lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.
3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas
abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”
si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”
abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”
si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.
abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”
si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”
si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”
si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas
abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”
si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”
abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”
silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…
ISTANBUL, yang sebelumnya bernama Byzantium lalu Constantinople, dibangun sekitar 658 sebelum Masehi oleh bangsa Megarians, salah satu koloni Yunani. Kota ini persis berada di tepi Tanduk Emas (Golden Horn) dan berbatasan langsung dengan selat Bosporus yang memisahkannya dari benua Asia di timur.
Kata Byzantium diambil dari nama pemimpin Megarians, Byzus yang berasal dari Megara, sebuah wilayah di dekat Athena. Pada 326 M, Kaisar Romawi, Constantine, memilih kota ini sebagai pusat kekuasaannya di timur dan mengubah Byzantium menjadi Constantinople, serta memperluas wilayah kota hingga melingkupi tujuh bukit di sekitarnya.
Constantine juga yang memulai pembangunan benteng raksasa yang mengelilingi pusat kekuasaannya di Istana Topkapi. Hingga hari ini reruntuhan benteng itu masih berdiri, melingkar dari Jalan Alemdar, lalu memotong Aya Sofia hingga ke ruas Jalan Kennedy, lalu ke arah Sarayburnu di utara.
Menurut Roger Crowley dalam buku 1453: the Holy war of Constantinople and the Clash of Islam and the West, keinginan Islam merebut Constantinople sama tuanya dengan usia agama yang lahir di jazirah Arab itu.
Pembawa ajaran Islam, Muhammad SAW pada 629 M mengirim sepucuk surat untuk Kaisar Heraclius di Constantinople. Dalam suratnya, Muhammad mengajak Heraclius meninggalkan paganisme (penyembahan berhala) dan mengimani satu Tuhan. Namun Heraclius memilih menolak seruan itu. Muhammad tak memaksa.
Pada masa selanjutnya, Islam berkembang luas dengan cepat. Pada era 630-an, Damaskus di Syria menjadi pusat kekhalifahan Islam yang dipimpin Dinasti Muawiyyah. Tahun berikutnya Islam diterima di Jerussalem, Mesir (641), dan Armenia (653). Dalam dua dekade selanjutnya seluruh Parsia mengakui Islam.
Pada 669, sekitar 40 tahun setelah Muhammad wafat, Muawiyyah mengirimkan pasukan ke Constantinople. Tahun selanjutnya, Muawiyyah menaklukan Dardanelles dan Tanjung Cyzcus, di selatan Constantinople. Sepanjang 670-an kapal-kapal perang Muawiyyah berlayar bolak-balik menyusuri Bosporus, dari Laut Hitam di utara ke Laut Marmawa di selatan, begitu seterusnya.
Di akhir dekade itu, Constantinople menembakkan berton-ton batu api ke arah kapal-kapal perang Muawiyyah. Serangan ini menghasilkan kerugian besar di pihak Muawiyyah. Tak ada jalan lain baginya, kecuali menarik pasukan dan, untuk sementara, menyimpan mimpi tentang Constantinople hingga ia wafat di tahun 679.
Keinginan Muawiyyah menaklukan Constantinople baru terlaksana 800 tahun kemudian. Senin, 29 May 1453, pasukan Ottoman dari Anatolia di yang dipimpin Fatih Mehmed II mendobrak pertahanan Constantinople. Pertarungan berjalan dengan sengit. Kedua belah pihak kehilangan ribuan tentara.
Setelah menaklukan Constantinople, Mehmed II yang kala itu baru berusia 21 tahun meminta agar pasukannya tak membantai warga kota serta tak merusak bangunan yang ada. Mehmed juga mengubah Katedral St. Sophia menjadi masjid, dan pada hari Jumat pertama, 2 Juni 1453, dia dan pasukannya menggelar shalat Jumat di tempat itu.
Di awal abad ke-17, Sultan Ahmet I mendirikan Majid Biru di seberang Aya Sofia. Tak seperti Aya Sofia yang memiliki empat menara, Masjid Biru memiliki enam menara dan 36 kubah kecil di sekitar kubah induk. Dan Aya Sofia sejak itu menjadi museum.
Lukisan-lukisan kramik peninggalan Katholik di dinding dan di langit-langit St. Sophia masih dapat disaksikan hingga kini. Untuk memberi nuansa Islam, Ottoman memasang tujuh kaligrafi besar di ruang utama, yang masing-masing bertuliskan nama Muhammad, empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, serta dua cucu Muhammad, Hassan dan Hussein.
Seperti Romawi, Ottoman juga menjadikan Topkapi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal Sultan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Istana Dolmabache.
Dan kini, setelah menjadi museum pada 1924, di Topkapi dapat ditemukan berbagai benda yang berhubungan dengan perkembangan agama Islam. Bahkan, jenggot, pedang dan cetakan telapak Nabi Muhammad pun ada. Juga tongkat yang (kemungkinan) digunakan Nabi Musa untuk membelah Laut Merah saat dia melarikan diri dari Mesir bersama ribuan orang Yahudi ke Israel, hampir 4.000 tahun lalu.
Hikayat Tafsir Mimpi 7 Ekor Sapi Nabi Yusuf
Syahdan.. Nabi Yusuf pernah dipenjara oleh Raja Mesir hingga akhirnya dibebaskan karena mampu menafsirkan mimpi aneh dan sangat mengganggu sang baginda.
Mimpi mengenai tujuh ekor sapi gemuk yang digantikan oleh tujuh ekor sapi kurus.
Maka beliau pun menafsirkannya sebagai akan datangnya masa makmur selama bertahun-tahun dan digantikannya masa paceklik selama bertahun-tahun.
Setelah mendengarkan penafsiran beliau maka Sang Raja pun memerintahkan untuk membuat persiapan-persiapan selama masa makmur sebagai langkah antisipasi selama masa paceklik.
Hal tersebut ternyata menyelamatkan kesejahteraan rakyat Mesir selama masa paceklik hingga mereka dapat melewatinya dengan baik karena adanya langkah-langkah antisipasi selama masa makmur.
Masa makmur adalah saat yang digunakan untuk bersiap menghadapi masa paceklik.
Hikayat ini sebenarnya merupakan sebuah pesan moral yang disampaikan kepada manusia untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tidak terjebak dengan pemuasan untuk kepentingan sesaat saja.
Hidup manusia memang sudah ditakdirkan berputar seperti roda. Kadang ada di atas dan kadang ada di bawah.
Nah, di setiap posisi tersebut kita harus selalu bersiap-siap menghadapi perubahan dalam bentuk apapun.
Terutama kesiapan mental untuk menghadapi hal-hal yang kita tidak bersiap menghadapinya.
Sehebat apapun rencana yang kita susun dalam hidup ini, ternyata pada kenyataannya seringkali berubah dalam hasil akhirnya.
Kalaupun target bisa tercapai, apakah tidak pernah terpikirkan bahwa sebenarnya kita bisa meraih lebih dari itu?
Atau sebenarnya kita sudah melewatkan peluang-peluang lain yang lebih baik dari itu?
Hanya karena kita sudah mengenakan kaca mata kuda dengan berpaku kepada target-target dan rencana-rencana dalam hidup kita.
Hidup memang selalu berubah.
Tapi perubahan itu lebih menuntut adanya pengembangan dalam diri kita menjadi lebih baik dan tentu saja menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain.
Bersiap menghadapi apa yang kita tidak siap menghadapinya adalah hal penting yang harus selalu kita kembangkan.
Hingga akhirnya hidup kita bisa lebih berbahagia karena dimanapun posisi kita dalam roda kehidupan ini tidak pernah menjadi masalah.
Saat di atas kita tetap berbahagia karena bisa menikmati hidup yang indah dan bersiap-siap menyongsong saat kita nanti harus berada di bawah.
Pun saat di bawah kita menjadi lebih berbahagia karena yakin bahwa akan merambat lagi ke atas dan bersiap-siap menyongsong masa nanti yang lebih indah.
| WOLO-WOLO KUWATO
Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang ahli
ibadah. Siang malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya
marah karena tak ada lagi yang bisa dimakan. "Barang apa
yang hidup merayap perlu makan. Carilah pekerjaan, Bang,
karena sudah terbukti doa tak bisa dimakan," gerutu
istrinya.
Tak enak didengar tetangga, ia berjanji mau bekerja. Ini
hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua agar
bisa berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi
hari berangkat, sorenya baru pulang. Kepada istri ia
berbohong bahwa majikannya akan membayar jerih payahnya
sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan. Ia heran, dari
mana semua itu diperoleh? Tapi, belum sempat ditanya, si
istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi datang
mengantar bahan pangan dan sejumlah uang. "Baru aku berdoa
sebentar, sudah Kaukirim bayaran begitu banyaknya," gumam
orang itu. Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan
ia berdoa di gua.
Tentu saja, bukan apa yang dikatakan yang penting dalam
kisah ini, melainkan arti simbolis yang dikandungnya.
Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah
ia datangi. Tiap orang gila dan kere yang seperti gila di
Yogya ia kuntit: siapa tahu dalam omelannya terdapat
petunjuk nomor. Sering ia tidur di kuburan mencari impen
(impian). Jerih payahnya menarik becak pun ludes di meja
Sitompul, agen porkas. Buat Parmin, hidup berarti porkas.
Senik, istrinya, minta dipulangkan ke rumah orangtuanya
karena tak tahan lagi hidup dalam alam porkas yang panas.
Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena tak ada
biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
Mertua ikut bingung. Orangtua Parmin sendiri kehabisan
nasihat. "Arep dadi opo to kowe, Min, Min ...," (mau jadi
apa kamu), kata orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya,
ya. Mau jadi apa?
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan
Parmin dari Porkas. Ini lebih merupakan urusan rohaniwan
macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun,
Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
"Ada apa?" tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
"Saya mohon petunjuk, Pak Kiai."
"Saya cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode," kata Pak
Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana Pak Kiai tahu
bahwa ia pecandu porkas.
"Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat," kata Parmin.
Setelah pasrah bongkokan, artinya diapakan saja oleh Pak
Kiai monggo mawon, jiwa Parmin "dicuci". Diajari pula salat
dan berdoa. Tapi susah. Lidah Parmin tidak cocok untuk
menyebut kata-kata Arab.
"La Khaula wala kuata illa ...," kata Pak Kiai pelan.
"La wala wala ...," Parmin tergagap-gagap. Pak Kiai mau
ketawa. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap la wala wala.
Pusing juga ahli rohani itu.
"Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?"
Parmin mesem. Akhirnya, jalan keluar ditemukan. Doa
dipermudah. Yang penting intinya: wolo-wolo kuwato. Pas
betul.
"Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti. Jadi,
"Duh, Gusti, wolo-wolo kuwato. Artinya, kamu sambat,
mengeluh, mengadu, pada Tuhan sambil terus giat narik
becak."
Tiap malam Jumat Parmin "digarap" Pak Kiai. Pesan beliau:
"Kalau ada kegaiban, jangan heran. Gusti memang Mahagaib.
Pokoknya, syukuri, dan perbanyak doa, giat usaha. Itulah
laku utama," bisik Pak Kiai.
Kegaiban itu datang. Hampir tiap pagi, istrinya menemukan
selembar uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada
Pak Kiai. Jawab beliau, "Syukuri dan perbanyak doa."
Dulu, Parmin dirongrong nafsu "ingin punya". Kini, di bawah
asuhan Pak Kiai, seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia
ayem. Semeleh atau tawakal, memberinya ketenangan. "Hamba
tak berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya". Mudahnya: "Duh,
Gusti, uvolo-wolo kuwato".
Di shopping centre, ia pernah berkali-kali, sejak pagi
sampai jam lima sore, belum dapat penumpang. Ia panik.
Apalagi belum sesuap pun nasi masuk perutnya. "Duh, Gusti
wolo-wolo kuwato," keluhnya. Menjelang jam enam, seorang
penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak
itu. Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di
saku Parmin.
Ini pun dilaporkannya pada Pak Kiai. Hanya satu hal tak
dilaporkannya. Ia ingin bikin kejutan. Tapi belum sempat
kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin merasa
shock kehilangan godfather.
"Min, sesaat sebelum pergi, Pak Kiai mengucapkan syukur
bahwa kau sudah mengkredit becak," kata putra Pak Kiai.
Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?
Memang, sejak sering ditemukannya "uang gaib" di rumah, ia
menabung. Kepada istrinya ia berpesan untuk tak
mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya,
ditanggulangi dari narik becak harian.
Tabungannya itu digunakannya untuk mengangsur becak Bah
Gendut. Begitu becak lunas, ia ingin "matur" Pak Kiai.
Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan laporan. Pak Kiai
sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)
"Yah, namanya juga wong suci," pikir Parmin.
Sekarang, setelah kepergian Pak Kiai, uang "gaib" tak lagi
ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin bertanya-tanya.
Namun, ia sadar, kegaiban toh tak bisa terjadi
terus-menerus. Kegaiban hidup memang ada. Tapi hidup tak
bisa semata disandarkan pada kegaiban itu. La khaula dan
mengayuh becak barunya itulah kunci hidup yang sekarang
dipegangnya.
| TUHAN TERSENYUM
Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya
masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.
Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."
Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat
"tambahan" larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib". Senat dan Dewan
dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran. Maka,
saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak sopan. Buat jemaah yang
suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
Saya dengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam
ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.
"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
Wah ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.
Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi dubi, tidak boleh. Khotbah lucu,
jangan. Lho? Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa cantelan dan
aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang Bung
Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.
Di Universitas Monash saya temukan striker: "Jangan bawa
organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih
memerlukannya di sini". Imbauan ini bukan dari Gereja,
melainkan dari koperasi kredit. Intinya: kita diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih.
Tapi di usia ke-70 ia punya kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.
Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"
Allah senyum. "Betul," jawabnya, "Tapi kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa
bedanya Aku dengan patung?"
Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.
| GURU
Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku kata gu
dari kata guru itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru.
Barangkali benar, guru memang digugu (dianut) dan ditiru,
diteladani para murid. Dari sana, barangkali Ki Hajar
Dewantara merumuskan peran guru yang terkenal: ing ngarso
asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu.
Barangkali dari sana pula pepatah kita "guru kencing
berdiri, murid kencing berlari" itu memperoleh inspirasinya.
Sardono W. Kusumo pernah mengatakan kepada saya bahwa di
masyarakat Jawa, guru tidak harus merupakan sebuah sosok
pribadi, melainkan bisa juga cuma berupa citra atau sosok
bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan, ketika Resi Durna
sedang mengajar para satria Pandawa dan Astina memanah,
seorang satria lain datang hendak berguru memanah kepada
resi tersebut.
"Tidak bisa, ki sanak," sahut Begawan Durna. "Saya sudah
teken kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan tak
akan lagi pernah menerima murid lain."
Satria itu kemudian pergi dengan rasa kecewa. Namun,
tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna tetap membara.
Citra Durna sebagai guru sakti tak ada duanya sangat
mempengaruhinya.
Syahdan, sang satria pun kemudian membuat patung Pandita
Durna Ia lalu mulai belajar memanah, sambil membayangkan
bahwa ia sedang benar-benar belajar kepada pandita sakti
itu. Dan konon, kehebatan satria ini tak kalah dari para
murid yang belajar dari Durna secara langsung.
Mudah diduga, andaikata Durna menerimanya sebagai murid,
pasti satria itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru.
Apa pun perintah sang guru, murid itu pasti akan
mematuhinya. Dengan kata lain, murid itu pasti akan mampu
memanggul tugasnya sebagai murid yang harus senantiasa
membuktikan bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.
Tapi, masihkah sekarang ini guru memperoleh kehormatan
sebagai orang tua yang tetap digugu lan ditiru (didengar
petuahnya, ditiru tindakannya?). Zaman berubah. Musim pun
berganti. Dan dalam pergantian itu, kita tiba-tiba
dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi sejalan dengan
tafsir ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.
Kita dibuat terkejut oleh sejenis pemberontakan moral dan
penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan,
kita sepertinya tak siap menghadapi kenyataan ketika guru
bukan cuma tak lagi digugu lan ditiru, melainkan juga
digebuk oleh sang murid.
Kita belum punya jawaban, apa yang mesti kita katakan
sekarang ketika kita melihat murid datang kepada guru sambil
membawa parang, golok, atau belati untuk mengancam sang
guru, ketika gurunya tak bersedia memberinya nilai bagus
atau menaikkannya ke kelas tinggi
Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada murid
mengamuk melempari kaca dan jendela, merusak sekolah, dan
mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri guru?
Dan, apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam masyarakat
kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru merosot serendah
itu? Guru-guru berjumpalitan, mencoba berakrobatik untuk
menyesuaikan diri dengan panduan dari pusat. Mereka
tergencet situasi: mengejar target yang besar dari pusat
akan selalu berarti menemui kesulitan dengan murid-muridnya
sendiri, tapi bila ia mencoba memberi murid sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.
Guru memang masih tetap disanjung sebagai "pahlawan tanpa
tanda jasa". Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap
orang besar pernah menjadi guru. Mungkin benar, tapi guru
dalam masyarakat kita sekarang jelas bukan orang besar.
Jadi, apakah gunanya menghibur guru dengan ucapan seperti
itu?
Bagi saya, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa
ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-olah guru memang
tak berhak memperoleh tanda jasa itu.
Guru bukan manusia merdeka. Ia tidak bebas. Ia tidak
mempunyai otonomi dalam memutuskan nasib murid-muridnya,
meskipun tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang
paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.
Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan tak
jarang campur tangan, melakukan intimidasi, atau menyogok
sang guru dengan materi. Ini sekali lagi, membuktikan juga
betapa guru memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka.
Tampaknya guru, dalam kondisinya, tak bisa berkata tidak
seperti dulu ketika Durna menolak satria, calon murid yang
hendak berguru kepadanya.
Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang tak
menggantungkan kurikulum pendidikannya kepada kekuasaan
orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di
mata para muridnya. Guru-guru tarekat, dengan kata lain,
masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal tentang guru
sebagai yang digugu lan ditiru.
Petuah sang guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak.
"Sabda" mereka disetengahsucikan oleh para murid. Guru
tarekat adalah sejenis raja yang paling berkuasa. Namun,
mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan
dengan wibawa.
Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita
kepada kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma didengar
komando jihatnya untuk menyembelih si kafir Belanda,
melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan Ratu Adil yang
bakal mengembalikan harmoni dalam masyarakat serta
menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.
Murid-murid tarekat pernah rela mempertaruhkan leher demi
melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai
saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa
makanannya untuk ngalap berkah.
Kemandirian, kebebasan, kharismanya yang besar, dan
keteladanan moralnya itu yang membuat murid tarekat rela
mencium tangan bahkan sungkem, menyembah, di hadapan sang
guru.
| ORANG-ORANG BERJUBAH
Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Tiga orang
berjubah hitam tampak di depan pintu. Saya kaget. Apa salah
saya, sampai orang-orang dari pengadilan datang kemari?
Bukan. Ternyata, mereka orang-orang gereja. Yang di tangan
mereka bukan kitab undang-undang, melainkan kitab suci. Ayem
saya.
"Are you Christian?" tanya salah seorang berjubah itu
"No, mate, I'm a Moslem."
Tak jadi soal. Mereka tetap mendakwahi saya. Disuruhnya saya
membaca Bibel. Saya merasa ditodong. Buat mereka, Bibel
harus dibaca, sebab dunia ini rusak karena orang tak lagi
membaca Bibel.
"Alangkah sepele sebab kerusakan dunia," pikir saya.
"Di dalam kitab ini, kunci keselamatan ditemukan," kata
Christ yang brewok itu. Saya jadi takut. Keadaan
kelihatannya genting. Namun, saya akui, uraiannya terlalu
simplistik. Saya jadi mengerti, mengapa teman lain yang
punya pengalaman serupa menggerutu. Tahulah saya, mengapa
banyak orang menutup pintu bagi mereka.
Malam hari, saya suka datang ke Mesjid Noble Park. Semula,
mesjid itu sebuah gereja. Karena sudah "bangkrut", gereja
dijual. Orang-orang Polandia membelinya dan menjadikannya
mesjid. Di mesjid itu, orang Polandia juga berjubah hitam.
Mereka mengenakan sepatu waktu salat. Biasanya, selesai
salat, tiap jemaah dilempari tasbih. Tampaknya, ada petugas
yang khusus melempar-lempar.
Suasananya enak. Tenang sekali buat berzikir. Suatu malam,
di tengah kenikmatan zikir itu, seorang berjubah menjawil.
"My brother, where are you from?" tanyanya.
"Indonesia."
Diajaknya saya bicara Semangat brotherhood nya besar. Dia
bertanya alamat di Indonesia. Juga, alamat di Australia.
Bagi brother dari Mesir ini, dunia juga rusak, karena orang
terlalu mementingkan materi.
Di Australia, misi yang dibawanya adalah "berjuang"
mewujudkan tatanan Islami. Ia mengatakan, Islam itu
sempurna. Paling sempurna. Dan, mudah. Sejauh orang menuruti
jejak Kanjeng Nabi, hidup sudah beres. Tidak lupa pula, dia
mengundang saya ke mesjid Preston, di mana saya bisa bertemu
para brother muslim dari berbagai penjuru dunia.
Saya ingat, di Monash, banyak saya jumpai brother dari
Malaysia yang punya semangat seperti itu. Mereka ini anggota
Jami'atul Tabligh. Semangat mereka hebat dalam mengajak
orang Islam untuk menjadi lebih Islam. Mereka fundamentalis.
Pandangan mereka juga simplistik. Kata-kata kunci mereka
mudah diingat: dunia sudah rusak, muslim lain hanya
sekumpulan domba yang sesat, dan tidak sempurna keislaman
kita kalau kita tak berjenggot seperti mereka. Jadi, jenggot
merupakan ukuran puritansi.
Sebaliknya, kalau sudah seperti mereka, hidup akan amat
mudah. Salah seorang brother dari Malaysia ini meninggalkan
istrinya di Malaysia. Saya tanya, apa tak "payah" hidup jauh
dari istri. Dia tegar menjawab: "Allah will provide."
Maksudnya, Allah akan menyediakan istri. Mereka membolehkan
nikah mut'ah. Ketika itu, saya masih tinggal di hall yang
mahal. Tapi, saya bilang, sulit mencari flat yang murah.
"Allah will provide," katanya lagi.
Tiap soal dijawab: "Allah will provide."
Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Di depan
pintu, tampak orang-orang berjubah. Mereka bukan orang-orang
dari gereja, melainkan dari mesjid. Satu orang saya kenal,
karena pernah bertemu di Mesjid Noble Park. Mereka datang
bersilaturahmi. Saya lega.
Namun, ketika mereka bicara bahwa dunia sudah rusak, saya
gelisah. Saya khawatir "khotbah" mereka berkepanjangan.
Syukurlah, mereka segera tancap gas.
Di Pamulang, saya bertemu dengan orang-orang berjubah juga.
Mereka jemaah Darul Arqam. Sambil meneliti, saya mengaji
bersama mereka. Bagi mereka, dunia juga sudah rusak, karena
kita kena penyakit "cinta dunia".
Menurut mereka, sakit itu bisa diobati dengan tatanan
Islami. Macam apa? Seperti contoh Kanjeng Nabi. Bagi mereka,
jenggot dan jubah juga simbol keislaman.
Di mana-mana, orang bicara bahwa "dunia sudah rusak". Di
mana-mana, orang bicara puritansi. Kritik saya sederhana:
mereka lupa membedakan agama dari kebudayaan Arab dan Islam
dicampur-aduk. Dikiranya, baru sah Islam kita kalau kita
sudah "Arab". Mereka menolak iman yang tidak tampil dalam
"wajah" Arab.
Pintu flat saya diketuk. Dan, saya membukanya. Orang-orang
berjubah dari gereja dan dari mesjid hari Minggu itu datang
bersama. Flat saya yang kecil itu menjadi gereja sekaligus
mesjid.
Saya tak setuju dengan pandangan keagamaan mereka. Tapi,
bagaimanapun, melihat semangat dan ketulusan mereka, saya
menaruh rasa hormat. Saya tetap bersikap baik. Sebab, siapa
tahu --kalau benar mereka ini "penyelamat" dunia, seperti
Kanjeng Nabi Nuh AS-- saya bisa menumpang selamat di perahu
mereka.
| TERSERAH TUHAN
Hidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini
menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan
tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana
saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.
Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta
bicara di depan segenggam mahasiswa "penjaga mesjid", saya
diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual.
Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka,
bersifat "ilmu sosial" biasa.
Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu
termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.
Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di
Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal.
Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih
tidak dengan cara Islam. Penjelasan --bahwa makanan para ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim-- tidak pernah
laku.
Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut
sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama
terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab
minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan
kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk
yang baik tanpa harus menjadi ahli.
Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab:
"Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia
bisa pulang tinggal nama."
Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang
tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan,
yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas
Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang
membikin murid bertanya-tanya. Saat pelajaran agama,
anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.
"Pak, katanya, pelajaran agama?" tanya seorang murid.
"Ya, ini juga pelajaran agama," kata Pak Guru, tenang.
"Dasar teorinya: 'kebersihan adalah sebagian dari iman'.
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman."
Anak-anak mesem. Agama, dengan begitu, masih tetap agama
biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.
Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan
Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang
tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon
petunjuk.
"Kamu tidak butuh kiai macam saya," kata Pak Kiai. "Pergilah
kamu pada Kamin."
Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu
apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia
hidup? "Kiai gendeng," pikirnya.
"Tidak, saya serius, Nak," kata Pak Kiai.
Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai,
sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.
Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak
Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara
langsung?
Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak
ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga
bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu
mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran
es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.
Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di
depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju.
Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi.
Pembeli berjejal.
Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya,
dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup
dari situ. Mereka hidup tentram.
Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat,
lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka
dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.
"Apa doa kang Kamin sehabis salat?" tanya Hardi.
"Saya serahkan hidup ini pada Tuhan," jawabnya, polos.
"Warung Anda maju. Apa rahasianya?"
"Tidak ada. Semua terserah Tuhan."
"Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?"
"Semua saya serahkan Tuhan."
"Maksudnya?"
"Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai,
buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan
mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan."
Hardi pernah mendengar, orang Barat yang mengagumi
Soedjatmoko menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang
yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih
murni. Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga
murni, dan total.
Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin.
Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya
selama ini.
|
|
|
|
|