Rabu, 16 November 2011

hikayat

0 komentar
Hikayat abu nawas

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”
abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”
si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :
“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”
si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.
abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”
si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”
abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”
silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.
abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”
si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”
abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”
si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”
abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”
lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.
3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas
abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”
si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”
abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”
si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.
abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”
si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”
si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”
si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas
abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”
si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”
abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”
silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…


Hikayat Kota yang Menyimpan Tongkat Musa

ISTANBUL, yang sebelumnya bernama Byzantium lalu Constantinople, dibangun sekitar 658 sebelum Masehi oleh bangsa Megarians, salah satu koloni Yunani. Kota ini persis berada di tepi Tanduk Emas (Golden Horn) dan berbatasan langsung dengan selat Bosporus yang memisahkannya dari benua Asia di timur.
Kata Byzantium diambil dari nama pemimpin Megarians, Byzus yang berasal dari Megara, sebuah wilayah di dekat Athena. Pada 326 M, Kaisar Romawi, Constantine, memilih kota ini sebagai pusat kekuasaannya di timur dan mengubah Byzantium menjadi Constantinople, serta memperluas wilayah kota hingga melingkupi tujuh bukit di sekitarnya.
Constantine juga yang memulai pembangunan benteng raksasa yang mengelilingi pusat kekuasaannya di Istana Topkapi. Hingga hari ini reruntuhan benteng itu masih berdiri, melingkar dari Jalan Alemdar, lalu memotong Aya Sofia hingga ke ruas Jalan Kennedy, lalu ke arah Sarayburnu di utara.
Menurut Roger Crowley dalam buku 1453: the Holy war of Constantinople and the Clash of Islam and the West, keinginan Islam merebut Constantinople sama tuanya dengan usia agama yang lahir di jazirah Arab itu.
Pembawa ajaran Islam, Muhammad SAW pada 629 M mengirim sepucuk surat untuk Kaisar Heraclius di Constantinople. Dalam suratnya, Muhammad mengajak Heraclius meninggalkan paganisme (penyembahan berhala) dan mengimani satu Tuhan. Namun Heraclius memilih menolak seruan itu. Muhammad tak memaksa.
Pada masa selanjutnya, Islam berkembang luas dengan cepat. Pada era 630-an, Damaskus di Syria menjadi pusat kekhalifahan Islam yang dipimpin Dinasti Muawiyyah. Tahun berikutnya Islam diterima di Jerussalem, Mesir (641), dan Armenia (653). Dalam dua dekade selanjutnya seluruh Parsia mengakui Islam.
Pada 669, sekitar 40 tahun setelah Muhammad wafat, Muawiyyah mengirimkan pasukan ke Constantinople. Tahun selanjutnya, Muawiyyah menaklukan Dardanelles dan Tanjung Cyzcus, di selatan Constantinople. Sepanjang 670-an kapal-kapal perang Muawiyyah berlayar bolak-balik menyusuri Bosporus, dari Laut Hitam di utara ke Laut Marmawa di selatan, begitu seterusnya.
Di akhir dekade itu, Constantinople menembakkan berton-ton batu api ke arah kapal-kapal perang Muawiyyah. Serangan ini menghasilkan kerugian besar di pihak Muawiyyah. Tak ada jalan lain baginya, kecuali menarik pasukan dan, untuk sementara, menyimpan mimpi tentang Constantinople hingga ia wafat di tahun 679.
Keinginan Muawiyyah menaklukan Constantinople baru terlaksana 800 tahun kemudian. Senin, 29 May 1453, pasukan Ottoman dari Anatolia di yang dipimpin Fatih Mehmed II mendobrak pertahanan Constantinople. Pertarungan berjalan dengan sengit. Kedua belah pihak kehilangan ribuan tentara.
Setelah menaklukan Constantinople, Mehmed II yang kala itu baru berusia 21 tahun meminta agar pasukannya tak membantai warga kota serta tak merusak bangunan yang ada. Mehmed juga mengubah Katedral St. Sophia menjadi masjid, dan pada hari Jumat pertama, 2 Juni 1453, dia dan pasukannya menggelar shalat Jumat di tempat itu.
Di awal abad ke-17, Sultan Ahmet I mendirikan Majid Biru di seberang Aya Sofia. Tak seperti Aya Sofia yang memiliki empat menara, Masjid Biru memiliki enam menara dan 36 kubah kecil di sekitar kubah induk. Dan Aya Sofia sejak itu menjadi museum.
Lukisan-lukisan kramik peninggalan Katholik di dinding dan di langit-langit St. Sophia masih dapat disaksikan hingga kini. Untuk memberi nuansa Islam, Ottoman memasang tujuh kaligrafi besar di ruang utama, yang masing-masing bertuliskan nama Muhammad, empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, serta dua cucu Muhammad, Hassan dan Hussein.
Seperti Romawi, Ottoman juga menjadikan Topkapi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal Sultan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Istana Dolmabache.
Dan kini, setelah menjadi museum pada 1924, di Topkapi dapat ditemukan berbagai benda yang berhubungan dengan perkembangan agama Islam. Bahkan, jenggot, pedang dan cetakan telapak Nabi Muhammad pun ada. Juga tongkat yang (kemungkinan) digunakan Nabi Musa untuk membelah Laut Merah saat dia melarikan diri dari Mesir bersama ribuan orang Yahudi ke Israel, hampir 4.000 tahun lalu.



Hikayat Tafsir Mimpi 7 Ekor Sapi Nabi Yusuf

Syahdan.. Nabi Yusuf pernah dipenjara oleh Raja Mesir hingga akhirnya dibebaskan karena mampu menafsirkan mimpi aneh dan sangat mengganggu sang baginda.
Mimpi mengenai tujuh ekor sapi gemuk yang digantikan oleh tujuh ekor sapi kurus.
Maka beliau pun menafsirkannya sebagai akan datangnya masa makmur selama bertahun-tahun dan digantikannya masa paceklik selama bertahun-tahun.
Setelah mendengarkan penafsiran beliau maka Sang Raja pun memerintahkan untuk membuat persiapan-persiapan selama masa makmur sebagai langkah antisipasi selama masa paceklik.
Hal tersebut ternyata menyelamatkan kesejahteraan rakyat Mesir selama masa paceklik hingga mereka dapat melewatinya dengan baik karena adanya langkah-langkah antisipasi selama masa makmur.
Masa makmur adalah saat yang digunakan untuk bersiap menghadapi masa paceklik.
Hikayat ini sebenarnya merupakan sebuah pesan moral yang disampaikan kepada manusia untuk memiliki pandangan jauh ke depan dan tidak terjebak dengan pemuasan untuk kepentingan sesaat saja.
Hidup manusia memang sudah ditakdirkan berputar seperti roda. Kadang ada di atas dan kadang ada di bawah.
Nah, di setiap posisi tersebut kita harus selalu bersiap-siap menghadapi perubahan dalam bentuk apapun.

Terutama kesiapan mental untuk menghadapi hal-hal yang kita tidak bersiap menghadapinya.
Sehebat apapun rencana yang kita susun dalam hidup ini, ternyata pada kenyataannya seringkali berubah dalam hasil akhirnya.
Kalaupun target bisa tercapai, apakah tidak pernah terpikirkan bahwa sebenarnya kita bisa meraih lebih dari itu?
Atau sebenarnya kita sudah melewatkan peluang-peluang lain yang lebih baik dari itu?
Hanya karena kita sudah mengenakan kaca mata kuda dengan berpaku kepada target-target dan rencana-rencana dalam hidup kita.
Hidup memang selalu berubah.
Tapi perubahan itu lebih menuntut adanya pengembangan dalam diri kita menjadi lebih baik dan tentu saja menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain.
Bersiap menghadapi apa yang kita tidak siap menghadapinya adalah hal penting yang harus selalu kita kembangkan.
Hingga akhirnya hidup kita bisa lebih berbahagia karena dimanapun posisi kita dalam roda kehidupan ini tidak pernah menjadi masalah.
Saat di atas kita tetap berbahagia karena bisa menikmati hidup yang indah dan bersiap-siap menyongsong saat kita nanti harus berada di bawah.
Pun saat di bawah kita menjadi lebih berbahagia karena yakin bahwa akan merambat lagi ke atas dan bersiap-siap menyongsong masa nanti yang lebih indah.



WOLO-WOLO KUWATO
 
Dalam sebuah bacaan pesantren disebutkan kisah seorang  ahli
ibadah.  Siang  malam kerjanya berdoa melulu hingga istrinya
marah karena tak ada lagi yang  bisa  dimakan.  "Barang  apa
yang  hidup  merayap  perlu  makan. Carilah pekerjaan, Bang,
karena  sudah  terbukti  doa  tak  bisa   dimakan,"   gerutu
istrinya.
 
Tak  enak  didengar  tetangga,  ia berjanji mau bekerja. Ini
hanya dalih semata. Sebab, sebenarnya, ia pergi ke gua  agar
bisa  berdoa lebih khusyuk tanpa dicereweti sang istri. Pagi
hari  berangkat,  sorenya  baru  pulang.  Kepada  istri   ia
berbohong  bahwa  majikannya  akan  membayar  jerih payahnya
sekaligus kelak, setelah beberapa lama bekerja.
 
Suatu sore istrinya memasak aneka makanan.  Ia  heran,  dari
mana  semua  itu  diperoleh?  Tapi, belum sempat ditanya, si
istri menjelaskan bahwa utusan majikan suaminya tadi  datang
mengantar  bahan  pangan dan sejumlah uang. "Baru aku berdoa
sebentar, sudah Kaukirim bayaran  begitu  banyaknya,"  gumam
orang  itu.  Makin yakin ia pada kemurahan Tuhan, makin edan
ia berdoa di gua.
 
Tentu saja, bukan apa  yang  dikatakan  yang  penting  dalam
kisah   ini,  melainkan  arti  simbolis  yang  dikandungnya.
Selebihnya kita bebas menolak atau menerimanya.
 
Parmin, tukang becak, memang gila porkas. Banyak dukun sudah
ia  datangi.  Tiap  orang gila dan kere yang seperti gila di
Yogya  ia  kuntit:  siapa  tahu  dalam  omelannya   terdapat
petunjuk  nomor.  Sering  ia  tidur di kuburan mencari impen
(impian). Jerih payahnya menarik becak  pun  ludes  di  meja
Sitompul,  agen  porkas.  Buat Parmin, hidup berarti porkas.
Senik, istrinya,  minta  dipulangkan  ke  rumah  orangtuanya
karena  tak  tahan  lagi hidup dalam alam porkas yang panas.
Dan Gafur, anak tertuanya, berhenti sekolah karena  tak  ada
biaya. Pendeknya, keluarga Parmin berantakan.
 
Mertua  ikut  bingung.  Orangtua  Parmin  sendiri  kehabisan
nasihat. "Arep dadi opo to kowe, Min, Min  ...,"  (mau  jadi
apa  kamu),  kata  orangtuanya. Lama-lama Parmin mikir. Iya,
ya. Mau jadi apa?
 
Memang bukan tugas sosiolog atau psikolog untuk mengentaskan
Parmin  dari  Porkas.  Ini  lebih merupakan urusan rohaniwan
macam Pak Kiai atau Romo Mangun. Yang jelas, bosan ke dukun,
Parmin pergi ke kiai di Wonokromo, dekat dari rumahnya.
 
"Ada apa?" tanya Pak Kiai yang sudah tua itu.
 
"Saya mohon petunjuk, Pak Kiai."
 
"Saya  cuma kiai. Tidak bisa memberimu nomor kode," kata Pak
Kiai. Parmin pun terkesiap heran, bagaimana  Pak  Kiai  tahu
bahwa ia pecandu porkas.
 
"Bukan, Pak Kiai. Saya mau tobat," kata Parmin.
 
Setelah  pasrah  bongkokan,  artinya  diapakan saja oleh Pak
Kiai monggo mawon, jiwa Parmin "dicuci". Diajari pula  salat
dan  berdoa.  Tapi  susah.  Lidah  Parmin  tidak cocok untuk
menyebut kata-kata Arab.
 
"La Khaula wala kuata illa ...," kata Pak Kiai pelan.
 
"La wala wala ...,"  Parmin  tergagap-gagap.  Pak  Kiai  mau
ketawa.  Berkali-kali  dicoba,  hasilnya tetap la wala wala.
Pusing juga ahli rohani itu.
 
"Kalau nyebut porkas lancar, ya Min?"
 
Parmin  mesem.  Akhirnya,  jalan   keluar   ditemukan.   Doa
dipermudah.  Yang  penting  intinya:  wolo-wolo  kuwato. Pas
betul.
 
"Tapi bukan cuma itu, Min. Mesti ditambah Duh, Gusti.  Jadi,
"Duh,   Gusti,   wolo-wolo  kuwato.  Artinya,  kamu  sambat,
mengeluh,  mengadu,  pada  Tuhan  sambil  terus  giat  narik
becak."
 
Tiap  malam  Jumat  Parmin "digarap" Pak Kiai. Pesan beliau:
"Kalau ada kegaiban, jangan heran.  Gusti  memang  Mahagaib.
Pokoknya,  syukuri,  dan  perbanyak  doa, giat usaha. Itulah
laku utama," bisik Pak Kiai.
 
Kegaiban itu datang. Hampir tiap  pagi,  istrinya  menemukan
selembar  uang lima ribuan di bawah pintu. Parmin lapor pada
Pak Kiai. Jawab beliau, "Syukuri dan perbanyak doa."
 
Dulu, Parmin dirongrong nafsu "ingin punya". Kini, di  bawah
asuhan  Pak  Kiai,  seluruh jiwanya diliputi rasa pasrah. Ia
ayem. Semeleh atau tawakal,  memberinya  ketenangan.  "Hamba
tak  berdaya, kecuali atas pertolongan-Nya". Mudahnya: "Duh,
Gusti, uvolo-wolo kuwato".
 
Di shopping  centre,  ia  pernah  berkali-kali,  sejak  pagi
sampai  jam  lima  sore,  belum  dapat  penumpang. Ia panik.
Apalagi belum sesuap pun nasi masuk  perutnya.  "Duh,  Gusti
wolo-wolo  kuwato,"  keluhnya.  Menjelang  jam enam, seorang
penumpang datang. Tanpa menawar ia langsung nomplok di becak
itu.  Begitu turun ia menyelipkan tiga lembar lima ribuan di
saku Parmin.
 
Ini pun dilaporkannya pada Pak  Kiai.  Hanya  satu  hal  tak
dilaporkannya.  Ia  ingin  bikin  kejutan. Tapi belum sempat
kejutan dibikin, ia terkejut. Pak Kiai wafat. Parmin  merasa
shock kehilangan godfather.
 
"Min,  sesaat  sebelum  pergi,  Pak  Kiai mengucapkan syukur
bahwa kau sudah mengkredit  becak,"  kata  putra  Pak  Kiai.
Parmin kaget. Lo? Beliau sudah tahu?
 
Memang,  sejak  sering ditemukannya "uang gaib" di rumah, ia
menabung.   Kepada   istrinya   ia   berpesan   untuk    tak
mengutik-utik uang di bawah bantal itu. Soal makan seadanya,
ditanggulangi dari narik becak harian.
 
Tabungannya itu  digunakannya  untuk  mengangsur  becak  Bah
Gendut.  Begitu  becak  lunas,  ia  ingin  "matur" Pak Kiai.
Namun, beliau, ternyata, tak memerlukan  laporan.  Pak  Kiai
sudah tahu sak durunge winarah (tahu rahasia di balik tabir)
 
"Yah, namanya juga wong suci," pikir Parmin.
 
Sekarang,  setelah  kepergian Pak Kiai, uang "gaib" tak lagi
ditemukan di bawah pintu. Dalam hati Parmin  bertanya-tanya.
Namun,   ia   sadar,   kegaiban   toh   tak   bisa   terjadi
terus-menerus. Kegaiban hidup memang  ada.  Tapi  hidup  tak
bisa  semata  disandarkan  pada  kegaiban itu. La khaula dan
mengayuh becak barunya  itulah  kunci  hidup  yang  sekarang
dipegangnya.

TUHAN TERSENYUM
 
Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.
 
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya  temukan  dua  hal  itu.  Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian  saya
masih  randah,  kata  orang  Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.
 
Di  tahun  1978,  seorang  khatib  melucu   di   masjid   UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi  melek  penuh.  Mereka  menyimak  pesan  Jumat,  sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
 
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."
 
Vonis jatuh.  Marah  khatib  kita  ini.  Dan  saya  mencatat
"tambahan"  larangan  satu  lagi.  Sebelum  itu  demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib".  Senat  dan  Dewan
dibekukan.  Milik  mahasiswa  yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
 
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran.  Maka,
saya  khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak  sopan.  Buat  jemaah  yang
suka  menguap  macam  saya,  karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
 
Saya dengar Komar  dikritik  banyak  pihak.  Soalnya,  dalam
ceramah  agamanya  ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di  kampungnya,  banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
 
"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.
 
"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
 
Wah  ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.
 
Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya  marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi  dubi,  tidak  boleh.  Khotbah  lucu,
jangan.  Lho?  Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa  cantelan  dan
aman,  apa  bukan  "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?
 
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang  Bung
Karno.  Dalam  humor,  saya  cukup  di  belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.
 
Di  Universitas  Monash  saya  temukan striker: "Jangan bawa
organmu  ke  surga.  Orang  surga  sudah  tahu  kita   lebih
memerlukannya  di  sini".  Imbauan  ini  bukan  dari Gereja,
melainkan  dari  koperasi  kredit.  Intinya:   kita   diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
 
Ini  pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia  menyembah  tanpa  pamrih.
Tapi  di  usia  ke-70  ia  punya  kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma  diam.  Kakek  kecewa.  Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.
 
Bukan   urusan  dia  bila  masalah  kemudian  timbul,  sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
 
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"
 
Allah  senyum.  "Betul,"  jawabnya,  "Tapi  kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu  apa
bedanya Aku dengan patung?"
 
Siang  malam  aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.

GURU
 
Dalam ilmu othak-athik gathuk-nya orang Jawa, suku  kata  gu
dari  kata  guru  itu berarti digugu dan ru, artinya ditiru.
Barangkali benar, guru memang digugu  (dianut)  dan  ditiru,
diteladani  para  murid.  Dari  sana,  barangkali  Ki  Hajar
Dewantara merumuskan peran guru yang  terkenal:  ing  ngarso
asung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani itu.
Barangkali  dari  sana  pula  pepatah  kita  "guru   kencing
berdiri, murid kencing berlari" itu memperoleh inspirasinya.
 
Sardono  W.  Kusumo  pernah  mengatakan kepada saya bahwa di
masyarakat Jawa, guru tidak  harus  merupakan  sebuah  sosok
pribadi,  melainkan  bisa  juga cuma berupa citra atau sosok
bayangan. Dalam sebuah lakon disebutkan, ketika  Resi  Durna
sedang  mengajar  para  satria  Pandawa  dan Astina memanah,
seorang satria lain datang  hendak  berguru  memanah  kepada
resi tersebut.
 
"Tidak  bisa,  ki  sanak,"  sahut Begawan Durna. "Saya sudah
teken kontrak untuk hanya mengajar para satria ini, dan  tak
akan lagi pernah menerima murid lain."
 
Satria   itu  kemudian  pergi  dengan  rasa  kecewa.  Namun,
tekadnya untuk berguru kepada Begawan Durna  tetap  membara.
Citra  Durna  sebagai  guru  sakti  tak  ada  duanya  sangat
mempengaruhinya.
 
Syahdan, sang satria pun  kemudian  membuat  patung  Pandita
Durna  Ia  lalu  mulai  belajar memanah, sambil membayangkan
bahwa ia sedang benar-benar  belajar  kepada  pandita  sakti
itu.  Dan  konon,  kehebatan  satria ini tak kalah dari para
murid yang belajar dari Durna secara langsung.
 
Mudah diduga, andaikata  Durna  menerimanya  sebagai  murid,
pasti  satria itu bakal menjadi murid yang taat kepada guru.
Apa  pun  perintah  sang  guru,   murid   itu   pasti   akan
mematuhinya.  Dengan  kata  lain, murid itu pasti akan mampu
memanggul  tugasnya  sebagai  murid  yang  harus  senantiasa
membuktikan bahwa guru memang seyogianya digugu lan ditiru.
 
Tapi,  masihkah  sekarang  ini  guru  memperoleh  kehormatan
sebagai orang tua yang tetap  digugu  lan  ditiru  (didengar
petuahnya,  ditiru  tindakannya?).  Zaman berubah. Musim pun
berganti.  Dan  dalam   pergantian   itu,   kita   tiba-tiba
dihadapkan  pada  kenyataan  yang  tak  lagi  sejalan dengan
tafsir ideal tentang guru sebagai yang digugu lan ditiru.
 
Kita dibuat terkejut oleh sejenis  pemberontakan  moral  dan
penjungkirbalikan tatanan ideal dalam tafsir Jawa tadi. Dan,
kita sepertinya tak siap menghadapi  kenyataan  ketika  guru
bukan  cuma  tak  lagi  digugu  lan  ditiru,  melainkan juga
digebuk oleh sang murid.
 
Kita belum  punya  jawaban,  apa  yang  mesti  kita  katakan
sekarang ketika kita melihat murid datang kepada guru sambil
membawa parang, golok,  atau  belati  untuk  mengancam  sang
guru,  ketika  gurunya  tak  bersedia memberinya nilai bagus
atau menaikkannya ke kelas tinggi
 
Kondisi sosio-psikologis macam apa yang mendorong ada  murid
mengamuk  melempari  kaca  dan jendela, merusak sekolah, dan
mengeroyok gurunya sendiri? Apa yang salah dalam diri  guru?
Dan,  apa  sebenarnya  yang  sedang terjadi dalam masyarakat
kita? Ringkasnya, mengapa kewibawaan guru  merosot  serendah
itu?  Guru-guru  berjumpalitan,  mencoba  berakrobatik untuk
menyesuaikan  diri  dengan  panduan   dari   pusat.   Mereka
tergencet  situasi:  mengejar  target  yang besar dari pusat
akan selalu berarti menemui kesulitan dengan  murid-muridnya
sendiri,   tapi   bila  ia  mencoba  memberi  murid  sedikit
keleluasaan ia akan terbentur dengan atasan.
 
Guru memang masih tetap disanjung  sebagai  "pahlawan  tanpa
tanda  jasa".  Ada bahkan yang mengatakan bahwa umumnya tiap
orang besar pernah menjadi guru. Mungkin  benar,  tapi  guru
dalam  masyarakat  kita  sekarang  jelas  bukan orang besar.
Jadi, apakah gunanya menghibur guru  dengan  ucapan  seperti
itu?
 
Bagi  saya,  gelar  pahlawan  tanpa  tanda jasa lebih terasa
ejekan, bukan penghormatan, karena seolah-olah  guru  memang
tak berhak memperoleh tanda jasa itu.
 
Guru  bukan  manusia  merdeka.  Ia  tidak  bebas.  Ia  tidak
mempunyai otonomi  dalam  memutuskan  nasib  murid-muridnya,
meskipun  tak seorang pun berani membantah bahwa dialah yang
paling tahu tentang kemampuan murid-muridnya.
 
Orang-tua murid yang tidak tahu ujung pangkal persoalan  tak
jarang  campur  tangan,  melakukan intimidasi, atau menyogok
sang guru dengan materi. Ini sekali lagi,  membuktikan  juga
betapa  guru  memang bukan orang yang bebas. Ia tak merdeka.
Tampaknya guru, dalam kondisinya,  tak  bisa  berkata  tidak
seperti  dulu  ketika Durna menolak satria, calon murid yang
hendak berguru kepadanya.
 
Guru-guru tarekat yang tak terikat panduan atasan, yang  tak
menggantungkan   kurikulum  pendidikannya  kepada  kekuasaan
orang pusat, tampaknya masih memiliki kharisma yang besar di
mata  para  muridnya.  Guru-guru  tarekat, dengan kata lain,
masih tetap pengejawantahan dari konsep ideal  tentang  guru
sebagai yang digugu lan ditiru.
 
Petuah  sang  guru tarekat didengarkan. Perintahnya disimak.
"Sabda"  mereka  disetengahsucikan  oleh  para  murid.  Guru
tarekat  adalah  sejenis  raja  yang paling berkuasa. Namun,
mereka memperoleh kekuasaannya bukan dengan paksa, melainkan
dengan wibawa.
 
Begitulah, sejarah yang digali Sartono Kartodirdjo bercerita
kepada kita bahwa sebagian guru tarekat bukan cuma  didengar
komando   jihatnya   untuk  menyembelih  si  kafir  Belanda,
melainkan juga dipandang sebagai penjelmaan Ratu  Adil  yang
bakal   mengembalikan   harmoni   dalam   masyarakat   serta
menjanjikan ketentraman dan kemakmuran hidup mereka.
 
Murid-murid tarekat pernah rela  mempertaruhkan  leher  demi
melaksanakan perintah guru. Dan, murid-murid tarekat, sampai
saat ini, rela mencium tangan sang guru, bahkan berebut sisa
makanannya untuk ngalap berkah.
 
Kemandirian,   kebebasan,   kharismanya   yang   besar,  dan
keteladanan moralnya itu yang  membuat  murid  tarekat  rela
mencium  tangan  bahkan  sungkem, menyembah, di hadapan sang
guru.

ORANG-ORANG BERJUBAH
 
Pintu flat saya diketuk. Dan, saya  membukanya.  Tiga  orang
berjubah  hitam tampak di depan pintu. Saya kaget. Apa salah
saya, sampai orang-orang dari pengadilan datang kemari?
 
Bukan. Ternyata, mereka orang-orang gereja. Yang  di  tangan
mereka bukan kitab undang-undang, melainkan kitab suci. Ayem
saya.
 
"Are you Christian?" tanya salah seorang berjubah itu
 
"No, mate, I'm a Moslem."
 
Tak jadi soal. Mereka tetap mendakwahi saya. Disuruhnya saya
membaca  Bibel.  Saya  merasa  ditodong.  Buat mereka, Bibel
harus dibaca, sebab dunia ini rusak karena  orang  tak  lagi
membaca Bibel.
 
"Alangkah sepele sebab kerusakan dunia," pikir saya.
 
"Di  dalam  kitab  ini,  kunci  keselamatan ditemukan," kata
Christ  yang  brewok   itu.   Saya   jadi   takut.   Keadaan
kelihatannya  genting.  Namun,  saya akui, uraiannya terlalu
simplistik. Saya jadi  mengerti,  mengapa  teman  lain  yang
punya  pengalaman  serupa  menggerutu. Tahulah saya, mengapa
banyak orang menutup pintu bagi mereka.
 
Malam hari, saya suka datang ke Mesjid Noble  Park.  Semula,
mesjid  itu  sebuah  gereja. Karena sudah "bangkrut", gereja
dijual. Orang-orang Polandia  membelinya  dan  menjadikannya
mesjid.  Di  mesjid itu, orang Polandia juga berjubah hitam.
Mereka mengenakan  sepatu  waktu  salat.  Biasanya,  selesai
salat,  tiap jemaah dilempari tasbih. Tampaknya, ada petugas
yang khusus melempar-lempar.
 
Suasananya enak. Tenang sekali buat berzikir.  Suatu  malam,
di tengah kenikmatan zikir itu, seorang berjubah menjawil.
 
"My brother, where are you from?" tanyanya.
 
"Indonesia."
 
Diajaknya  saya  bicara  Semangat brotherhood nya besar. Dia
bertanya alamat di Indonesia.  Juga,  alamat  di  Australia.
Bagi  brother dari Mesir ini, dunia juga rusak, karena orang
terlalu mementingkan materi.
 
Di  Australia,  misi  yang   dibawanya   adalah   "berjuang"
mewujudkan   tatanan   Islami.   Ia  mengatakan,  Islam  itu
sempurna. Paling sempurna. Dan, mudah. Sejauh orang menuruti
jejak  Kanjeng Nabi, hidup sudah beres. Tidak lupa pula, dia
mengundang saya ke mesjid Preston, di mana saya bisa bertemu
para brother muslim dari berbagai penjuru dunia.
 
Saya  ingat,  di  Monash,  banyak  saya  jumpai brother dari
Malaysia yang punya semangat seperti itu. Mereka ini anggota
Jami'atul  Tabligh.  Semangat  mereka  hebat  dalam mengajak
orang Islam untuk menjadi lebih Islam. Mereka fundamentalis.
 
Pandangan mereka juga  simplistik.  Kata-kata  kunci  mereka
mudah   diingat:   dunia  sudah  rusak,  muslim  lain  hanya
sekumpulan domba yang sesat, dan  tidak  sempurna  keislaman
kita kalau kita tak berjenggot seperti mereka. Jadi, jenggot
merupakan ukuran puritansi.
 
Sebaliknya, kalau sudah  seperti  mereka,  hidup  akan  amat
mudah.  Salah seorang brother dari Malaysia ini meninggalkan
istrinya di Malaysia. Saya tanya, apa tak "payah" hidup jauh
dari istri. Dia tegar menjawab: "Allah will provide."
 
Maksudnya,  Allah akan menyediakan istri. Mereka membolehkan
nikah mut'ah. Ketika itu, saya masih tinggal  di  hall  yang
mahal. Tapi, saya bilang, sulit mencari flat yang murah.
 
"Allah will provide," katanya lagi.
 
Tiap soal dijawab: "Allah will provide."
 
Pintu  flat  saya  diketuk.  Dan,  saya membukanya. Di depan
pintu, tampak orang-orang berjubah. Mereka bukan orang-orang
dari  gereja,  melainkan dari mesjid. Satu orang saya kenal,
karena pernah bertemu di Mesjid Noble  Park.  Mereka  datang
bersilaturahmi. Saya lega.
 
Namun,  ketika  mereka  bicara bahwa dunia sudah rusak, saya
gelisah.  Saya  khawatir  "khotbah"  mereka  berkepanjangan.
Syukurlah, mereka segera tancap gas.
 
Di  Pamulang, saya bertemu dengan orang-orang berjubah juga.
Mereka jemaah Darul Arqam.  Sambil  meneliti,  saya  mengaji
bersama  mereka. Bagi mereka, dunia juga sudah rusak, karena
kita kena penyakit "cinta dunia".
 
Menurut  mereka,  sakit  itu  bisa  diobati  dengan  tatanan
Islami. Macam apa? Seperti contoh Kanjeng Nabi. Bagi mereka,
jenggot dan jubah juga simbol keislaman.
 
Di mana-mana, orang bicara bahwa  "dunia  sudah  rusak".  Di
mana-mana,  orang  bicara  puritansi. Kritik saya sederhana:
mereka lupa membedakan agama dari kebudayaan Arab dan  Islam
dicampur-aduk.  Dikiranya,  baru  sah  Islam kita kalau kita
sudah "Arab". Mereka menolak iman yang  tidak  tampil  dalam
"wajah" Arab.
 
Pintu  flat  saya diketuk. Dan, saya membukanya. Orang-orang
berjubah dari gereja dan dari mesjid hari Minggu itu  datang
bersama.  Flat  saya yang kecil itu menjadi gereja sekaligus
mesjid.
 
Saya tak setuju dengan  pandangan  keagamaan  mereka.  Tapi,
bagaimanapun,  melihat  semangat  dan ketulusan mereka, saya
menaruh rasa hormat. Saya tetap bersikap baik. Sebab,  siapa
tahu  --kalau  benar  mereka  ini "penyelamat" dunia, seperti
Kanjeng Nabi Nuh AS-- saya bisa menumpang selamat  di  perahu
mereka.

TERSERAH TUHAN
 
Hidup di zaman kebangkitan Islam  (kalau  benar  konsep  ini
menggambarkan  realitas  sosial sekarang) memiliki persoalan
tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana
saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.
 
Ketika  di  Universitas  Muhammadiyah  Jakarta  saya diminta
bicara di depan segenggam mahasiswa "penjaga  mesjid",  saya
diingatkan  agar  lebih  menguasai  Islam  secara  tekstual.
Karena, pendekatan saya, kata  salah  seorang  dari  mereka,
bersifat "ilmu sosial" biasa.
 
Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu
termasuk "agama" hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.
 
Dari tahun  ke  tahun,  ada  saja  mahasiswa  Indonesia,  di
Universitas  Monash,  yang bersemangat memburu daging halal.
Dasarnya, daging  di  supermarket  haram  karena  disembelih
tidak dengan cara Islam. Penjelasan --bahwa makanan para ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim--  tidak  pernah
laku.
 
Akhir-akhir   ini,  saya  memberi  ceramah.  Tanpa  menyebut
sepotong pun ayat,  saya  bicara  agama.  Buat  saya,  agama
terpancar  dalam  hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab
minded,  karena,  agama  lebih  menuntut   tindakan,   bukan
kecanggihan  ilmu,  dari  pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk
yang baik tanpa harus menjadi ahli.
 
Persoalan muncul. Saya diultimatum  oleh  wanita  berjilbab:
"Lain  kali,  hati-hati.  Kalau  ceramah begitu di Indonesia
bisa pulang tinggal nama."
 
Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang  yang  paham  yang
tahu  bahwa  saya  pun  sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan,
yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas
Djohan  (Djohan  Effendi)  pernah  bicara  tentang guru yang
membikin  murid  bertanya-tanya.   Saat   pelajaran   agama,
anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.
 
"Pak, katanya, pelajaran agama?" tanya seorang murid.
 
"Ya,  ini  juga  pelajaran  agama,"  kata  Pak Guru, tenang.
"Dasar teorinya: 'kebersihan  adalah  sebagian  dari  iman'.
Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman."
 
Anak-anak  mesem.  Agama,  dengan  begitu, masih tetap agama
biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.
 
Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah  kiai.  Paham  Quran  dan
Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang
tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon
petunjuk.
 
"Kamu tidak butuh kiai macam saya," kata Pak Kiai. "Pergilah
kamu pada Kamin."
 
Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang  bakso.  Tahu
apa  tukang  bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia
hidup? "Kiai gendeng," pikirnya.
 
"Tidak, saya serius, Nak," kata Pak Kiai.
 
Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul  Pak  Kiai,
sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.
 
Tapi,  mengapa  Kamin?  Ia  masih penasaran. Tentu saja, Pak
Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak  mau  bicara
langsung?
 
Dengan  rumusan  itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak
ada yang istimewa di sana,  selain  bahwa  Kamin  sekeluarga
bekerja   keras.   Anak-anaknya  dikerahkan  untuk  membantu
mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran
es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.
 
Setelah  periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di
depan rumahnya  itu,  melayani  pembeli.  Warung  itu  maju.
Bakso,  krupuk  udang,  dan es kelapa, jadi pasangan serasi.
Pembeli berjejal.
 
Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah.  Biayanya,  ya,
dari  warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup
dari situ. Mereka hidup tentram.
 
Hardi mulai tertarik.  Ia  mencoba  mengamati  lebih  dekat,
lebih  dalam.  Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka
dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.
 
"Apa doa kang Kamin sehabis salat?" tanya Hardi.
 
"Saya serahkan hidup ini pada Tuhan," jawabnya, polos.
 
"Warung Anda maju. Apa rahasianya?"
 
"Tidak ada. Semua terserah Tuhan."
 
"Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?"
 
"Semua saya serahkan Tuhan."
 
"Maksudnya?"
 
"Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi  pegawai,
buruh,   atau   tukang   bakso  juga.  Saya  percaya,  Tuhan
mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan."
 
Hardi  pernah  mendengar,   orang   Barat   yang   mengagumi
Soedjatmoko  menganggap  bahwa  almarhum  adalah jenis orang
yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi.  Ia  masih
murni.  Kamin,  si  tukang bakso ini, iman dan takwanya juga
murni, dan total.
 
Hardi sujud. Bijaksana  Pak  Kiai  mengirim  dia  ke  Kamin.
Ketulusan  macam  Kamin  itu, memang, yang belum dimilikinya
selama ini.
 
 

Leave a Reply

Labels