WELTEVREDEN, CIKAL BAKAL PUSAT PEMERINTAHAN JAKARTA SAAT INI
Proses sedimentasi dan pendangkalan sungai membuat meluapnya kotoran. Air menjadi keruh dan berbau. Nyamuk dan lalat berkembang biak dengan subur di rawa-rawa yang tergenang.
Selain itu, banyaknya mayat yang ditemukan di muara kali-kali Batavia akibat tingginya tingkat kriminalitas dan masalah kekurangan air bersih, membuat Batavia dijangkiti wabah penyakit. Terutama kolera dan flu. Bahkan beredar informasi bahwa pendiri Batavia Jan Pieterzoon Coen wafat akibat penyakit kolera yang mematikan ini (terdapat dua versi pendapat mengenai kematian J.P Coen. Versi pertama mengatakan bahwa J.P Coen mati dalam pertempuran melawan pemberontak. Sementara versi lain menyatakan J.P Coen wafat akibat wabah kolera).
Tahun 1732, guna menanggulangi masalah kekurangan air bersih Gubernur Jendral ke-22 Diederik Durven memutuskan penggalian Saluran Mookevart yang menghubungkan sungai Cisadane dan kali angke dari arah Tangerang guna menambah debit air sungai. Program ini ternyata kurang berhasil dan menyebabkan bencana banjir bagi Batavia di tahun-tahun berikutnya.
Di sisi lain, semakin tingginya tingkat kemakmuran masyarakat Batavia akhir abad 18, menyebabkan warga mencari tempat tinggal lebih baik di luar lokasi tembok Batavia. Perkembangan kota beralih dari sekitar Benteng ke arah Selatan yang memiliki udara lebih bersih dan sehat.
Pemukiman-pemukiman baru dengan gedung-gedung megah mulai banyak terbentuk disekitar Molenvliet (Jl.Gajah Mada dan Jl.Hayam Wuruk), Riswijkstraat (Jl.Majapahit), Noordwijk (Jl.Ir.Juanda) dan Weltevreden (khusus untuk Weltevreden merupakan kawasan peristirahatan elite bagi para pembesar VOC waktu itu).
Pada dasarnya wilayah Weltevreden bukanlah sebuah wilayah baru dalam peta Batavia. Wilayah ini sudah terbentuk sejak abad 17. Bermula saat Anthonij Paviljoun membangun vila-vila peristirahatan diatas lahan pemberian pemerintah kolonial tahun 1648 dengan nama Weltevreden. Kompleks perumahan inilah yang merupakan cikal bakal kawasan Weltevreden (letak kompleks tersebut saat ini berada disekitar Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto).
Kawasan Weltevreden mulai berkembang saat Justinus Vinck (1733-1735) membangun dua buah pasar besar didalamnya ( pasar Senen dan pasar Tanah Abang). Pasar-pasar tersebut dihubungankan oleh De Grote Zuiderweg (jalan tembus melalui Kampung Lima–Perapatan–sampai Kramat–terus ke Senen. Jalan Gunung Sari–Pasar Senen–Kramat).
Kemajuan kawasan Weltevreden semakin pesat ketika Gubernur Jendral Jacob Mossel memerintahkan penggalian Kali Lio ( saluran yang menghubungkan Sungai Ciliwung dengan parit memanjang yang sejajar dengan De Grote Zuiderweg) guna memudahkan sarana transportasi air dari dan menuju pasar.
Selain itu, Jacob Mossel juga memerintahkan dibangunnya sebuah villa besar di tikungan Ciliwung sebagai tempat peristirahatan yang kemudian dibeli oleh penerusnya Gubernur jendral Petrus Albertus Van Der Parra tahun 1767. Rumah ini selanjutnya dinamakan Istana Weltevreden.
Tahun 1857 Istana Weltevreden berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Militer Kolonial (sekarang Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto).
Diakhir masa kekuasaan VOC, Gubernur Jendral terakhir VOC Gerardus van Overstraten (1796-1801) memutuskan kawasan Weltevreden resmi dijadikan pusat pemerintahan pengganti kota Batavia lama dengan Istana Weltevreden sebagai jantungnya.
Sejarah kawasan Weltevreden terus berlanjut saat terjadinya transisi pemerintahan dari VOC ke kolonial Hindia Belanda. Dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-36 Herman Willem Daendels (1890), Kastil Batavia yang merupakan figur kota lama Batavia diwilayah Pasar Ikan dibongkar. Pusat pemerintahan digeser kewilayah baru tidak jauh dari Weltevreden. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Waterloplein (Lapangan Banteng) dengan Paleis van Daendels/Het Groote Huis (sekarang menjadi Gedung Departemen keuangan ) sebagai pusat dan Meester Cornelis (Jatinegara) sebagai basis pertahanannya. Sayang, karena situasi peperangan bangunan ini baru selesai dibuat semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies (1826-1828).
Selain membuat Het Groote Huis , Deandless juga membangun sebuah lapangan yang menjadi lapangan terbesar di Asia sebagai tempat latihan para militernya. Lapangan ini dikenal dengan nama Bufflesveld/ Champs de Mars. Tahun 1818 lapangan ini berganti nama menjadi Koningsplein/ Lapangan Raja (sekarang Lapangan Monas)
Ketika era Daendels berakhir, perkembangan pusat pemerintahan Batavia baru semakin terpusat diwilayah seputaran Koningsplein. Hal ini ditandai dengan dibelinya Istana Riswijk (Hotel van den Gouverneur-Generaal) yang merupakan bekas rumah peristirahatan J.A Van Braam di tahun 1821 oleh pemerintah kolonial Belanda untuk digunakan sebagai gedung pemerintahan dan lokasi penginapan para Gubernur Jendral Hindia Belanda saat berkunjung ke Batavia (sekarang Istana Negara).
Dikarenakan ruang Istana Riswijk yang kecil hingga tidak dapat menampung tamu-tamu undangan dalam upacara resmi kenegaraan, maka atas inisiatif Gubernur Jendral J.W Vans Lansberge tahun 1873-1879 dibangunlah sebuah istana baru dalam lahan yang sama. Istana ini kemudian diberi nama Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka). Di istana Gambir inilah peristiwa penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan berkibarnya bendera Dwikora Indonesia tanggal 27 Desember 1949 berlangsung.
Tahun 1905, Gemeente Batavia mengambil alih tanggung jawab atas pengelolaan seluruh wilayah kota Batavia. Rencana perluasan kota yang lebih terstruktur dicanangkan. Kawasan seperti Menteng dan Gondangdia dialih fungsikan dari wilayah perkebunan menjadi wilayah perumahan lengkap dengan fasilitas air bersih dan jalan raya. Sementara, wilayah seputar Koningsplein sendiri dikembangkan sebagai pusat pemerintahan, perkantoran dan hiburan berdasarkan rencana induk kota Batavia 1937.
Saat ini, keseluruhan wilayah Weltevreden dengan Koningsplain sebagai pusatnya menjadi wilayah administratif Kotamadya Jakarta Pusat sekaligus Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Beberapa bangunan bersejarah masa lalu seperti Paleis van Daendels (Istana Daendels), Schouwburg (gedung kesenian Jakarta), Istana Riswjk (Istana Negara), Istana Merdeka, gedung Museum Nasional, Waterloplein (Kawasan Lapangan Banteng) dan Stasiun Weltevreden (Stasiun Gambir) tetap dipertahankan dan terawat cukup baik.
Sementara wilayah yang tidak kalah penting seperti kawasan Senen, Tanah Abang dan kawasan Menteng-Gondangdia yang merupakan kota taman pertama dalam tata kota modern selain dari jalur Thamrin-Sudirman-Kuningan yang dikembangkan di era presiden Soekarno terus tumbuh mengikuti perkembangan zaman.
Disisi lain beberapa bangunan yang dianggap tidak lagi bermanfaat dibongkar dan dialih fungsikan, seperti yang terjadi pada sebuah taman terbesar di Asia bernama Taman Wilhelmina .
*sumber : situs Badan Perncanaa Kotamadya Jakarta Pusat, wikipedia.org
*Koleksi foto : digilib.pnri.go.id; internet